Kursi Roda Otomatis
Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berhasil mengembangkan kursi roda elektrik
bagi penyandang disabilitas dan pasien lumpuh hasil penelitian instrumentasi.
Kursi roda elektrik tersebut dapat membantu penyandang disabilitas yang tidak
bisa menggerakkan anggota badannya. Disebut elektrik sebab pengguna bisa
menggerakkan serta mengendalikan kursi roda canggih itu hanya dengan memikirkan
perintah.
Ide pembuatan teknologi itu muncul setelah Arjon Turnip –
peneliti utama - mengamati perkembangan penyakit yang diderita masyarakat
Indonesia. Menurutnya, saat ini di antara semua penyakit yang tidak menular,
stroke menempati posisi ketiga teratas. Karena itu, pria yang genap berusia 42
tahun tersebut berharap bisa memberikan sumbangsih untuk meringankan beban
mereka dengan menciptakan kursi roda elektrik tersebut.
Pengaplikasian kursi roda ini hanya perlu memasang cap elektroda di atas kepala dan menyuntikkan gel di lubang-lubang cap untuk kemudian disambungkan dengan 32 titik di kepala. Kemudian sinyal yang dihantarkan listrik kepala melalui cap elektroda ke amplifier itu diolah di software EEG di laptop atau semacamnya. Tidak berselang lama, koneksi pun terbangun. Di layar laptop muncul grafik sinyal yang dikirimkan otak. Setiap memikirkan sesuatu atau tak sengaja menggerakkan tangan, mata, atau bagian tubuh lainnya, bentuk grafik tersebut akan berubah. Setelah itu, sinyal diolah kembali. Sinyal yang masuk dari noise-noise yang ada dalam pikiran difilter dan menyisakan sinyal dengan frekuensi 9 hertz yang berarti instruksi maju, 8 hertz untuk mundur, 6 hertz ke kiri, dan 7 hertz ke kanan. Ke empat sinyal itulah yang dikirim ke pengontrol di bagian bawah kursi roda. Pengontrol tersebut kemudian menerjemahkan perintah ke kursi roda untuk bergerak.
Pengaplikasian kursi roda ini hanya perlu memasang cap elektroda di atas kepala dan menyuntikkan gel di lubang-lubang cap untuk kemudian disambungkan dengan 32 titik di kepala. Kemudian sinyal yang dihantarkan listrik kepala melalui cap elektroda ke amplifier itu diolah di software EEG di laptop atau semacamnya. Tidak berselang lama, koneksi pun terbangun. Di layar laptop muncul grafik sinyal yang dikirimkan otak. Setiap memikirkan sesuatu atau tak sengaja menggerakkan tangan, mata, atau bagian tubuh lainnya, bentuk grafik tersebut akan berubah. Setelah itu, sinyal diolah kembali. Sinyal yang masuk dari noise-noise yang ada dalam pikiran difilter dan menyisakan sinyal dengan frekuensi 9 hertz yang berarti instruksi maju, 8 hertz untuk mundur, 6 hertz ke kiri, dan 7 hertz ke kanan. Ke empat sinyal itulah yang dikirim ke pengontrol di bagian bawah kursi roda. Pengontrol tersebut kemudian menerjemahkan perintah ke kursi roda untuk bergerak.